Sita Jaminan

 

Sita jaminan dilakukan atas perintah Hakim / Ketua Majelis sebelum atau selama proses pemeriksaan berlangsung dan untuk penyitaan tersebut Hakim / Ketua Majelis membuat surat penetapan. Penyitaan dilaksanakan oleh Panitera Pengadilan Negeri / Juru Sita dengan dua orang pegawai pengadilan sebagai saksi.

Ada dua macam sita jaminan, yaitu sita jaminan terhadap barang milik tergugat (conservatoir beslag) dan sita jaminan terhadap barang milik penggugat (revindicatoir beslag) (Pasal 227, 226 HIR. Pasal 261, 260 RBg.).

Permohonan agar dilakukan sita jaminan, baik itu sita conservatoir atau sita revindicatoir, harus dimusya­warahkan Majelis Hakim dengan seksama, apabila permohonan tersebut cukup beralasan dan dapat dikabulkan maka Ketua Majelis membuat penetapan sita jaminan. Sita jaminan dilakukan oleh Panitera / Jurusita yang bersangkutan dengan disertai dua orang pegawai Pengadilan Negeri sebagai saksi.

Sebelum menetapkan permohonan sita jaminan Ketua Pengadilan / Majelis wajib terlebih dahulu mendengar pihak tergugat.

Dalam mengabulkan permohonan sita jaminan, Hakim wajib memperhatikan :

  1. Penyitaan hanya dilakukan terhadap barang milik tergugat (atau dalam hal sita revindicatoir terhadap barang bergerak tertentu milik penggugat yang ada di tangan tergugat yang dimaksud dalam surat gugat), setelah terlebih dahulu mendengar keterangan pihak tergugat (lihat Pasal 227 ayat (2) HIR/Pasal 261 ayat (2) RBg.).

  2. Apabila yang disita adalah sebidang tanah, dengan atau tanpa rumah, maka berita acara penyitaan harus  didaftarkan sesuai ketentuan dalam Pasal 227 (3) jo Pasal 198 dan Pasal 199 HIR atau pasal 261 jo pasal 213 dan Pasal 214.

  3. Dalam hal tanah yang disita sudah terdaftar / bersertifikat, penyitaan harus didaftarkan di Badan Pertanahan Nasional. Dan dalam hal tanah yang disita belum terdaftar / belum bersertifikat, penyitaan harus didaftarkan di Kelurahan. Tindakan tersita yang bertentangan dengan larangan tersebut adalah batal demi hukum.

  4. Barang yang disita ini, meskipun jelas adalah milik penggugat yang disita dengan sita revindicatoir, harus tetap dipegang / dikuasai oleh tersita. Barang yang disita tidak dapat dititipkan kepada Lurah atau kepada Penggugat atau membawa barang itu untuk di simpan di gedung Pengadilan Negeri.

Apabila telah dilakukan sita jarninan dan kemudian tercapai perdamaian antara kedua belah pihak yang berperkara, maka sita jaminan harus diangkat.

 

 

Sumber: Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Perdata Umum dan Perdata Khusus, Buku II, Edisi 2007, Mahkamah Agung RI, Jakarta,  2008, hlm. 79-80.

 

 

Mediasi

 

Secara umum, mediasi adalah salah satu alternatif penyelesaian sengketa. Ada 2 jenis mediasi, yaitu di dalam pengadilan dan di luar pengadilan. Mediasi di luar pengadilan ditangani oleh mediator swasta, perorangan, maupun sebuah lembaga independen alternatif penyelesaian sengketa yang dikenal sebagai Pusat Mediasi Nasional (PMN). Mediasi yang berada di dalam pengadilan diatur oleh Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 1 Tahun 2008 yang mewajibkan ditempuhnya proses mediasi sebelum pemeriksaan pokok perkara perdata dengan mediator terdiri dari hakim-hakim Pengadilan Negeri tersebut yang tidak menangani perkaranya. Penggunaan mediator hakim dan penyelenggaraan mediasi di salah satu ruang pengadilan tingkat pertama tidak dikenakan biaya. Proses mediasi pada dasarnya tidak terbuka untuk umum, kecuali para pihak menghendaki lain.

 

KELEBIHAN MEDIASI

  1. Lebih sederhana daripada penyelesaian melalui proses hukum acara perdata
  2. Efisien
  3. Waktu singkat
  4. Rahasia
  5. Menjaga hubungan baik para pihak
  6. Hasil mediasi merupakan KESEPAKATAN
  7. Berkekuatan hukum tetap
  8. Akses yang luas bagi para pihak yang bersengketa untuk memperoleh rasa keadilan

BAGAIMANA PROSES MEDIASI?

  1. Proses Pra Mediasi
    1. Para pihak dalam hal ini penggugat mengajukan gugatan dan mendaftarkan perkara.
    2. Ketua Pengadilan Negeri menunjuk majelis hakim.
    3. Pada hari pertama sidang majelis hakim wajib mengupayakan perdamaian kepada para pihak melalui proses mediasi. Para pihak dapat memilih mediator hakim atau non hakim yang telah memiliki sertifikat sebagai mediator dalam waktu 1 (satu) hari. Apabila dalam waktu 1 (satu) hari belum ditentukan maka majelis menetapkan mediator dari para hakim.
  2. Proses Mediasi
    1. Setelah penunjukan mediator, para pihak wajib menyerahkan fotokopi dokumen yang memuat duduk perkara, fotokopi surat-surat yang diperlukan dan hal-hal lain yang terkait dengan sengketa kepada mediator dan para pihak.
    2. Mediator wajib menentukan jadwal pertemuan untuk penyelesaian proses mediasi.
    3. Pemanggilan saksi ahli dimungkinkan atas persetujuan para pihak, dimana semua biaya jasa ahli itu ditanggung oleh para pihak berdasarkan kesepakatan.
    4. Mediator wajib mendorong para pihak untuk menelusuri dan menggali kepentingan para pihak dan mencari berbagai pilihan penyelesaian yang terbaik.
    5. Apabila diperlukan, kaukus atau pertemuan antara mediator dengan salah satu pihak tanpa kehadiran pihak lainnya, dapat dilakukan.
  3. Proses Akhir Mediasi
    1. Jangka waktu proses mediasi di dalam pengadilan paling lama adalah 40 hari kerja, dan dapat diperpanjang lagi paling lama 14 hari kerja.
    2. Jika mediasi menghasilkan kesepakatan, para pihak wajib merumuskan secara tertulis kesepakatan yang dicapai dan ditandatangani kedua pihak, dimana hakim dapat mengukuhkannya sebagai sebuah akta perdamaian.
    3. Apabila tidak tercapai suatu kesepakatan, hakim melanjutkan pemerikasaan perkara sesuai dengan ketentuan Hukum Acara yang berlaku.

 

 

Prosedur Peninjauan Kembali Perkara Perdata

 

  1. Berkas perkara diserahkan kepada Panitera Muda Perdata sebagai petugas pada meja / loket pertama, yang menerima pendaftaran terhadap permohonan peninjauan kembali.

  2. Permohonan peninjauan kembali dapat diajukan dalam waktu 180 hari kalender, dalam hal:

    1. Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu, adalah sejak diketahui kebohongan atau tipu muslihat atau sejak putusan Hakim pidana memperoleh kekuatan hukum tetap, dan tetap diberitahukan kepada pada pihak yang berperkara.

    2. Apabila setelah perkara diputus ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan, adalah sejak ditemukan surat-surat bukti, yang hari serta tanggal ditemukannya harus dinyatakan dibawah sumpah dan disahkan oleh pejabat yang berwenang.

    3. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang dituntut, apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya, dan apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama, atas dasar yang sama oleh Pengadilan yang sama atau sama tingkatnya telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain, adalah sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah diberitahukan kepada para pihak yang berperkara.

    4. Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan Hakim atau suatu kekeliruari yang nyata, adalah sejak putusan yang terakhir dan bertentangan itu memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah diberitahukan kepada pihak yang berperkara.

  3. Permohonan peninjauan kembali yang diajukan melampaui tenggang waktu, tidak dapat diterima dan berkas perkara tidak perlu dikirimkan ke Mahkamah Agung dengan Penetapan Ketua Pengadilan Negeri. Apabila hari ke 14 jatuh pada hari Sabtu, Minggu atau Hari Libur, maka penentuan hari ke 14 jatuh pada hari kerja berikutnya.

  4. Panjar biaya perkara peninjauan kembali dituangkan dalam SKUM, terdiri dari:

    1. Biaya perkara peninjauan kembali yang telah ditetapkan Ketua Mahkamah Agung.

    2. Biaya pengiriman uang.

    3. Biaya pengiriman berkas.

    4. Biaya Pemberitahuan (BP) berupa:

      1. BP pernyataan PK dan alasan PK.

      2. BP penyampaian salinan putusan kepada pemohon PK.

      3. BP amar putusan kepada termohon PK.

  5. SKUM (Surat Kuasa Untuk Membayar) dibuat dalam rangkap tiga:

    1. lembar pertama untuk pemohon.

    2. lembar kedua untuk kasir.

    3. lembar ketiga untuk dilampirkan dalam berkas permohonan.

  6. Menyerahkan SKUM kepada pihak yang bersangkutan agar membayar uang panjar yang tercantum dalam SKUM kepada pemegang kas Pengadilan Negeri.

  7. Pemegang kas setelah menerima pembayaran menandatangani dan membubuhkan cap stempel lunas pada SKUM.

  8. Permohonan PK dapat diterima apabila panjar yang ditentukan dalam SKUM oleh meja pertama telah dibayar tunas.

  9. Pemegang kas kemudian membukukan uang panjar biaya perkara sebagai tercantum dalam SKUM pada buku jurnal keuangan perkara.

  10. Apabila panjar biaya peninjauan kembali telah dibayar lunas maka pengadilan pada hari itu juga wajib membuat akta pemyataan peninjauan kembali yang dilampirkan pada berkas perkara dan mencatat permohonan peninjauan kembali tersebut dalam register induk perkara perdata dan register peninjauan kembali.

  11. Selambat-lambatnya dalam waktu 14 hari panitera wajib memberitahukan tentang permohonan PK kepada pihak lawannya dengan memberikan/mengirimkan salinan permohonan peninjauan kembali beserta alasan-alasannya kepada pihak lawan.

  12. Jawaban / tanggapan atas alasan peninjauan kembali harus telah diterima di kepaniteraan pengadilan negeri selambat-lambatnya 30 hari sejak alasan PK disampaikan kepadanya.

  13. Jawaban/tanggapan atas alasan PK yang diterima di kepaniteraan pengadilan Negeri harus dibubuhi hari dan tanggal penerimaan yang dinyatakan di atas surat jawaban tersebut.

  14. Dalam waktu 30 hari setelah menerima jawaban tersebut berkas peninjauan kembali berupa bundel A dan B harus dikirim ke Mahkamah Agung.

  15. Fotocopy relaas pemberitahuan putusan Mahkamah Agung supaya dikirim ke Mahkamah Agung.

  16. Pencabutan permohonan peninjauan kembali diajukan kepada Ketua Mahkamah Agung melalui Ketua Pengadilan Negeri yang ditandatangani oleh pemohon peninjauan kembali. Apabila diajukan oleh kuasanya harus diketahui oleh prinsipal.

  17. Pencabutan permohonan peninjauan kembali harus segera dikirim oleh Panitera ke Mahkamah Agung disertai akta pencabutan yang ditandatangani oleh Panitera.

 

 

Sumber: Mengadaptasi dari Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Perdata Umum dan Perdata Khusus, Buku II, Edisi 2007, Mahkamah Agung RI, Jakarta, 2008, hlm. 10-13.

 

 

Prosedur Pengajuan Permohonan

 

PENGAJUAN PERMOHONAN

  1. Permohonan diajukan dengan surat permohonan yang ditandatangani oleh pemohon atau kuasanya yang sah dan ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri di tempat tinggal pemohon.

  2. Pemohon yang tidak dapat membaca dan menulis dapat mengajukan permohonannya secara lisan dihadapan Ketua Pengadilan Negeri, yang akan menyuruh mencatat permohonanannya tersebut. (Pasal 120 HIR, Pasal 144 RBg).

  3. Permohonan disampaikan kepada Ketua Pengadilan Negeri, kemudian didaftarkan dalam buku register dan diberi nomor unit setelah pemohon membayar persekot biaya perkara yang besarnya sudah ditentukan oleh Pengadilan Negeri (Pasal 121 HIR, Pasal 145 RBg).

  4. Perkara permohonan termasuk dalam pengertian yurisdiksi voluntair dan terhadap perkara permohonan yang diajukan itu, Hakim akan memberikan suatu penetapan.

  5. Untuk permohonan pengangkatan anak oleh seorang WNA terhadap anak WNI atau oleh seorang WNI terhadap anak WNA (Pengangkatan Anak Antar Negara / Inter Country Adoption) harus dijatuhkan dalam bentuk putusan (SEMA No.2 Tahun 1979 jo SEMA No.6 Tahun 1983)

  6. Pengadilan Negeri hanya berwenang untuk memeriksa dan mengabulkan permohonan apabila hal itu ditentukan oleh peraturan perundang-undangan.

  7. Walaupun dalam redaksi undang-undang disebutkan bahwa pemeriksaan yang akan dilakukan oleh pengadilan atas permohonan dari pihak yang berkepentingan antara lain sebagaimana tersebut dalam Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Pasal 110 dan 117 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas jo Pasal 138 dan 146 Undang-Undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, namun hal tersebut tidak dapat diartikan sebagai perkara voluntair yang diperiksa secara ex parte, karena di dalamnya terdapat kepentingan orang lain sehingga perkara tersebut harus diselesaikan dengan cara contentiusa, yaitu pihak-pihak yang berkepentingan harus ditarik sebagai Termohon, sehingga asas audi et alteram partem terpenuhi.

  8. Produk dari permohonan tersebut adalah penetapan yang dapat diajukan kasasi.

  9. Permohonan pengangkatan anak ditujukan kepada Pengadilan Negeri, yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal anak yang hendak diangkat (SEMA No. 2 Tahun 1979 jo SEMA No. 6 Tahun 1983 jo SEMA No. 4 Tahun 1989).

  10. Permohonan anak angkat yang diajukan oleh Pemohon yang beragama Islam dengan maksud untuk memperlakukan anak angkat tersebut sebagai anak kandung dan dapat mewaris, maka permohonan diajukan ke Pengadilan Negeri, sedangkan apabila dimaksudkan untuk dipelihara, maka permohonan diajukan ke Pengadilan Agama.

  11. Untuk permohonan pengangkatan anak oleh seorang WNA terhadap anak WNI atau oleh seorang WNI terhadap anak WNA (Pengangkatan Anak Antar Negara Inter Country Adoption) hanya dapat dilakukan dalam daerah Pengadilan Negeri dimana Yayasan yang ditunjuk Departemen. Sosial RI untuk dapat dilakukannya Inter Country Adoption berada; yang saat ini ada 6, yaitu :

    1. DKI Jakarta – Yayasan Sayap Ibu - Yayasan Bhakti Nusantara "Tiara Putra".

    2. Jawa Barat - Yayasan Pemeliharaan Anak di Bandung.

    3. DI Yogyakarta - Yayasan Sayap Ibu.

    4. Jawa Tengah - Yayasan Pemeliharaan Anak dan Bayi di Solo.

    5. Jawa Timur - Panti Matahari Terbit di Surabaya.

    6. Kalimantan Barat - Yayasan Kesejahteraan Ibu dan Anak Pontianak.

  12. Inter Country Adoption dilakukan sebagai upaya terakhir (Ultimatum Remedium), dan pelaksanaannya harus memperhatikan SEMA No. 6 Tahun 1983 jo SEMA No. 4 Tahun 1989 jo UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Pasal 39, Pasal 40 dan Pasal 41.

  13. Perlu diperhatikan adanya Instruksi Menteri Kehakiman Republik Indonesia No. M.02.PW.09.01-1981 tentang Pemberian Paspor dan Exit Permit kepada anak warga negara Indonesia yang diangkat anak oleh warga negara asing, tanggal 3 Agustus 1981, khususnya butir 1 yang berbunyi:
    "Melarang memberikan paspor dan exit permit kepada anak-anak Warga Negara Indonesia yang diangkat anak oleh Warga Negara Asing apabila pengangkatan anak tersebut tidak dilakukan oleh Putusan Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal / tempat kediaman anak tersebut di Indonesia."

 

JENIS-JENIS PERMOHONAN YANG DAPAT DIAJUKAN MELALUI PENGADILAN NEGERI ANTARA LAIN:

  1. Permohonan pengangkatan wali bagi anak yang belum dewasa adalah 18 tahun (menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 47; menurut Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak Pasal 1; menurut Undang-undang No 23 Tahun 2002 Pasal 1 butir ke 1).

  2. Permohonan pengangkatan pengampuan bagi orang dewasa yang kurang ingatannya atau orang dewasa yang tidak bisa mengurus hartanya lagi, misalnya karena pikun.

  3. Permohonan dispensasi nikah bagi pria yang belum mencapai umur 19 tahun dan bagi wanita yang belum mencapai umur 16 tahun (Pasal 7 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974).

  4. Permohonan izin nikah bagi calon mempelai yang belum berumur 21 tahun (Pasal 6 ayat (5) Undang-Undang No.1 Tahun 1974).

  5. Permohonan pembatalan perkawinan (Pasal 25, 26 dan 27 Undang-Undang No.1 Tahun 1974).

  6. Permohonan pengangkatan anak (harus diperhatikan SEMA No. 6/1983).

  7. Permohonan untuk memperbaiki kesalahan dalam akta catatan sipil, misalnya apabila nama anak secara salah disebutkan dalam akta tersebut (Penduduk Jawa dan Madura Ordonantie Pasal 49 dan 50, Peraturan Catatan Sipil keturunan Cina Ordonantie 20 Maret 1917-130 jo 1929-81 Pasal 95 dan 96, Untuk golongan Eropa KUH Perdata Pasal 13 dan 14), permohonan akta kelahiran, akta kematian.

  8. Permohonan untuk menunjuk seorang atau beberapa orang wasit oleh karena para pihak tidak bisa atau tidak bersedia untuk menunjuk wasit (Pasal 13 dan 14 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa).

  9. Permohonan agar seseorang dinyatakan dalam keadaan tidak hadir (Pasal 463 BW) atau dinyatakan meninggal dunia (Pasal 457 BW).

  10. Permohonan agar ditetapkan sebagai wakil/ kuasa untuk menjual harta warisan.

 

PERMOHONAN YANG DILARANG

  1. Permohonan untuk menetapkan status kepemilikan atas suatu benda, baik benda bergerak ataupun tidak bergerak. Status kepemilikan suatu benda diajukan dalam bentuk gugatan.

  2. Permohonan untuk menetapkan status keahliwarisan seseorang. Status keahlian warisan ditentukan dalam suatu gugatan.

  3. Permohonan untuk menyatakan suatu dokumen atau sebuah akta adalah sah. Menyatakan suatu dokumen atau sebuah akta adalah sah harus dalam bentuk gugatan.

Untuk mengalihkan status kepemilikan benda tetap, seperti menghibahkan, mewakafkan, menjual, membalik nama sebidang tanah dan rumah, yang semula tercatat atas nama almarhum atau almarhumah, cukup dilakukan:

  1. Bagi mereka yang berlaku Hukum Waris Adat, dengan surat keterangan ahli waris yang dibuat oleh ahli waris yang bersangkutan sendiri, yang disaksikan oleh Lurah dan diketahui Camat dan desa dan kecamatan tempat tinggal almarhum.

  2. Bagi mereka yang berlaku Hukum Waris lain-lainnya, misalnya Warga Negara Indonesia keturunan Hindia, dengan surat keterangan ahli waris yang dibuat oleh Balai Harta Peninggalan (perhatikan Surat Edaran Menteri, Direktur Jenderal Agraria, Kepala Direktorat Pendaftaran Tanah ub. Kepala Pembinaan Hukum, R.Soepandi tertanggal 20 Desember 1969, No. Dpt/112/63/12/69, yang terdapat dalam buku tuntunan bagi Pejabat Pembuat Akte Tanah, Departemen Dalam Negeri, Ditjen Agraria, halaman 85).

 

AKTA DI BAWAH TANGAN MENGENAI KEAHLIWARISAN

  1. Akta ini dibuat oleh ahli waris almarhum, yang berupa suatu surat pemyataan bahwa dia mereka adalah ahli waris, dengan menyebutkan kedudukan masing- masing dalam hubungan keluarga yang telah meninggal. Pernyataan yang dibuat tersebut dapat dimintakan untuk disahkan tanda tangannya oleh Ketua Pengadilan Negeri.

  2. Setelah membacakan dan menjelaskan surat pernyataan tersebut dihadapan para pihak, Ketua Pengadilan Negeri atau Hakim yang ditunjuk mengesahkan tanda tangan mereka berdasarkan ketentuan Pasal 2 (1) Stbld. 1916-46 dengan cara, dibawah pernyataan tersebut dibubuhi kalimat:
    Yang bertanda tangan dibawah ini, Ketua / Hakim Pengadilan Negeri Sarolangun, menerangkan, bahwa yang bernama ______________ telah saya kenal atau telah diperkenalkan kepada saya, dan kepadanya / mereka telah saya jelaskan isi pernyataan dalam akta tersebut di atas, dan setelah itu ia / mereka membubuhkan tandatangannya dihadapan saya.
    Surat keterangan ahli waris tersebut hanya berlaku untuk suatu keperluan tertentu, karena itu dibawahnya dicantumkan dengan huruf-huruf besar sebagai berikut (sebagai contoh) :
    Catatan :
    "Akta dibawah tangan yang telah disahkan ini khusus berlaku untuk mengambil uang deposito di bank _____________ atas nama _____________”.
    Dan kemudian dibubuhi cap Pengadilan Negeri sesuai dengan Pasal 3 ayat (1) Stbld.1916-46, akta tersebut dicatat dalam Buku Register yang khusus disediakan untuk itu.

 

Sumber: Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Perdata Umum dan Perdata Khusus, Buku II, Edisi 2007, Mahkamah Agung RI, Jakarta, 2008, hlm. 43-48. Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor: KMA/032/SK/IV/2006 tentang Pemberlakuan Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan.

 

 

Prosedur Kasasi Perkara Perdata

 

 

 

  1. Berkas perkara diserahkan pada Panitera Muda Perdata sebagai petugas pada meja / loket pertama, yang menerima pendaftaran terhadap Permohonan Kasasi.

  2. Permohonan Kasasi dapat diajukan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri dalam waktu 14 (empat belas) hari kalender terhitung keesokan harinya setelah putusan Pengadilan Tinggi diberitahukan kepada para pihak. Apabila hari ke 14 (empat belas) jatuh pada hari Sabtu, Minggu atau Hari Libur, maka penentuan hari ke 14 (empat belas) jatuh pada hari kerja berikutnya.

  3. Permohonan Kasasi yang melampaui tenggang waktu tersebut di atas tidak dapat diterima dan berkas perkaranya tidak dikirimkan ke Mahkamah Agung dengan Penetapan Ketua Pengadilan (Pasal 45 A UU No. 5/2004).

  4. Ketua Pengadilan Negeri menetapkan panjar biaya Kasasi yang dituangkan dalam SKUM, yang diperuntukkan:

    1. Biaya pencatatan pernyataan Kasasi;

    2. Besarnya biaya Kasasi yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung ditambah biaya pengiriman melalui Bank ke rekening Mahkamah Agung;

    3. Biaya pengiriman berkas perkara ke Mahkamah Agung;

    4. Biaya Pemberitahuan (BP):

      1. BP pernyataan Kasasi;

      2. BP memori Kasasi;

      3. BP kontra memori Kasasi;

      4. BP untuk memeriksa kelengkapan berkas (inzage) bagi pemohon;

      5. BP untuk memeriksa kelengkapan berkas (inzage) bagi termohon;

      6. BP amar putusan Kasasi kepada pemohon;

      7. BP amar putusan Kasasi kepada termohon.

  5. SKUM (Surat Kuasa Untuk Membayar) dibuat dalam rangkap tiga:

    1. lembar pertama untuk pemohon;

    2. lembar kedua untuk kasir;

    3. lembar ketiga untuk dilampirkan dalam berkas perkara;

  6. Menyerahkan SKUM kepada pihak yang bersangkutan agar membayar uang panjar yang tercantum dalam SKUM kepada pemegang kas Pengadilan Negeri.

  7. Pemegang kas setelah menerima pembayaran menandatangani dan membubuhkan cap stempel lunas pada SKUM.

  8. Pernyataan Kasasi dapat diterima apabila panjar biaya perkara Kasasi yang ditentukan dalam SKUM telah dibayar lunas.

  9. Pemegang kas kemudian membukukan uang panjar biaya perkara sebagaimana tercantum dalam SKUM pada buku jurnal keuangan perkara.

  10. Apabila panjar biaya Kasasi telah dibayar lunas maka pengadilan pada hari itu juga wajib membuat akta pernyataan Kasasi yang dilampirkan pada berkas perkara dan mencatat permohonan Kasasi tersebut dalam register induk perkara perdata dan register permohonan Kasasi.

  11. Permohonan Kasasi dalam waktu 7 (tujuh) hari kalender harus telah disampaikan kepada pihak lawan.

  12. Memori Kasasi harus telah diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kalender terhitung sejak keesokan hari setelah pernyataan Kasasi. Apabila hari ke 14 (empat belas) jatuh pada hari Sabtu, Minggu atau Hari Libur, maka penentuan hari ke 14 (empat belas) jatuh pada hari kerja berikutnya.

  13. Panitera wajib memberikan tanda terima atas penerimaan memori Kasasi dan dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kalender salinan memori Kasasi tersebut disampaikan kepada pihak lawan.

  14. Kontra memori Kasasi harus telah diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kalender sesudah disampaikannya memori Kasasi.

  15. Sebelum berkas perkara dikirim ke Mahkamah Agung harus diberikan kesempatan kepada kedua belah pihak untuk mempelajari / memeriksa kelengkapan berkas perkara (inzage) dan dituangkan dalam akta.

  16. Dalam waktu 65 (enam puluh lima) hari sejak permohonan Kasasi diajukan, berkas Kasasi berupa bundel A dan B harus sudah dikirim ke Mahkamah Agung.

  17. Biaya permohonan Kasasi untuk Mahkamah Agung harus dikirim oleh pemegang kas melalui Bank BRI Cabang Veteran - Jl. Veteran Raya No. 8 Jakarta Pusat; Rekening Nomor 31.46.0370.0 dan bukti pengirimannya dilampirkan dalam berkas perkara yang bersangkutan.

  18. Tanggal penerimaan memori dan kontra memori Kasasi harus dicatat dalam buku register induk perkara perdata dan register permohonan Kasasi.

  19. Fotocopy relaas pemberitahuan putusan Mahkamah Agung wajib dikirim ke Mahkamah Agung.

  20. Pencabutan permohonan Kasasi diajukan kepada Ketua Mahkamah Agung melalui Ketua Pengadilan Negeri yang ditandatangani oleh pemohon Kasasi. Apabila pencabutan permohonan Kasasi diajukan oleh kuasanya maka harus diketahui oleh principal.

  21. Pencabutan permohonan Kasasi harus segera dikirim oleh Panitera ke Mahkamah Agung disertai akta pencabutan permohonan Kasasi yang ditandatangani oleh Panitera.

 

 

Sumber:
-Mengadaptasi dari Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Perdata Umum dan Perdata Khusus, Buku II, Edisi 2007, Mahkamah Agung RI, Jakarta, 2008, hlm. 7-10.

 

 

Subcategories